Definisi Culture Shock
Istilah
culture shock awalnya terdokumentasi dalam jurnal medis sebagai penyakit yang
parah (berpotensi hilangnya nyawa seseorang), yang diperoleh individu saat ia
secara tiba-tiba dipindah ke luar negri. Namun istilah culture shock dalam
istilah sosial pertama kali dikenalkan oleh seorang sosiolog Kalervo Oberg di
akhir tahun 1960. (dalam Irwin, 2007) mendefinisikan culture shock sebagai
“penyakit” yang diderita oleh individu yang hidup di luar lingkungan budayanya
sendiri. Istilah ini mengandung pengertian adanya perasaan cemas, hilangnya
arah, perasaan tidak tahu apa yang harus dilakukan atau tidak tahu bagaimana
harus melakukan sesuatu, yang dialami oleh individu tersebut ketika ia berada
dalam suatu lingkungan yang secara kebudayaan maupun sosial baru. Oberg (dalam
Irwin, 2007) lebih lanjut menjelaskan hal itu dipicu oleh kecemasan individu
karena ia kehilangan nilai-nilai yang selama ini dikenalnya dalam interaksi
sosial, terutama terjadi saat individu tinggal dalam budaya baru dalam jangka
waktu yang relative lama.
Definisi
Adler (1975) lebih menekankan bahwa culture shock adalah suatu rangkaian reaksi
emosional sebagai akibat dari hilangnya penguatan (reinforcement) yang selama
ini diperoleh dari kebudayaan yang lama, diganti dengan stimulus dari
kebudayaan baru yang terasa asing, dan karena adanya kesalahpahaman pada
pengalaman yang baru dan berbeda. Perasaan ini mungkin meliputi rasa tak
berdaya, mudah tersinggung, perasaan takut bahwa orang lain akan berbuat curang
padanya karena ketidaktahuannya, perasaan terluka dan perasaan diabaikan oleh
orang lain.
Gejala-Gejala Culture Shock
Gejala
munculnya culture shock bisa berbeda-beda antara satu orang dengan yang lain.
Namun ada beberapa yang biasanya ditunjukkan individu saat mengalami culture
shock, yaitu antara lain :
1. Perasaan
sedih, kesepian, melankolis, merasa frustasi, kemarahan, kecemasan,
disorientasi
2. Menjadi lebih kuatir tentang
kesehatan. Pada orang-orang yang datang dari negara yang lebih maju, biasanya
menjadi lebih sensitive terhadap masalah kebersihan di tempat yang baru. Tidak
bersedia makan atau minum dari makanan setempat, karena ketakutan akan berbagai
penyakit dan sangat khawatir akan kebersihan makanan dan penduduk setempat.
3. Menderita
rasa sakit di berbagai areal tubuh, muncul berbagai alergi, serta
gangguan-gangguan kesehatan lainnya, seperti diare, maag, sakit kepala dll.
4. Adanya
perubahan temperamen, rasa depresi, merasa diri lemah dan rapuh, merasa tidak berdaya
5. Perasaan
marah, mudah tersinggung, penyesalan, tidak bersedia untuk berinteraksi dengan orang lain
6.
Selalu membanding-bandingkan budaya asalnya, mengidolakan kebudayaan asal
secara berlebihan.
7. Kehilangan
identitas, mempertanyakan kembali identitas diri yang selama ini diyakininya.
Misalnya sebelumnya meyakini bahwa dirinya adalah orang yang cerdas, tiba-tiba
kini merasa menjadi orang yang paling bodoh, aneh, tidak menarik dll.
8.Mencoba
terlalu keras untuk menyerap segala sesuatu yang ada di lingkungan barunya
(karena rasa cemas ingin menguasai/memahami lingkungannya) yang justru bisa
menimbulkan perasaan kewalahan.
9. Tidak
mampu memecahkan masalah sederhana
10.
Kehilangan kepercayaan diri.
Secara
singkat Irwin (2007) menyebutkan bahwa segala bentuk distress mental maupun
fisik yang dialami di lokasi asing disebut sebagai gejala culture shock.
Faktor Penyebab Munculnya Culture
Shock
Lin (2007)
menemukan dalam penelitiannya terhadap anggota Organisasi Komunitas Mahasiswa
Cina di Amerika, bahwa fenomena culture shock bersifat kontekstual dan dialami
dengan berbeda-beda dari generasi ke generasi berikutnya. Artinya, faktor yang
mendorong bagaimana munculnya culture shock juga akan sangat spesifik
tergantung pada di daerah mana individu tersebut berasal, di daerah mana
individu berada, serta pada tahun atau masa seperti apa, akan sangat
bervariasi.
Fenomena
mengapa culture shock dapat terjadi bisa dipandang dari beberapa pendekatan.
Chapdelaine (2004) mencatat paling tidak terdapat empat pendekatan dalam
menjelaskan fenomena culture shock. Pendekatan ini meliputi pendekatan:
a) Pendekatan
Kognitif
Pendekatan
ini mempostulasikan bahwa kemampuan untuk penyesuaian lintas budaya individu
akan tergantung dari kemampuan individu tersebut untuk membuat atribusi yang
tepat mengenail nilai-nilai kultur, kepercayaan, perilaku dan norma di
lingkungan yang baru. Individu mengalami ketidakmampuan menyesuaikan diri
karena mereka menggunakan standar kulturnya sendiri untuk menilai,
menginterpretasikan dan berperilaku dalam lingkungan yang baru (Triandis dalam
Chapdelaine, 2004). Hal inilah yang membuat penyesuaian dirinya menjadi tidak
efektif karena perbedaan cara menginterpretasikan suatu kejadian bisa
menimbulkan kesalahpahaman di sana sini.
b) Pendekatan
Perilaku
Menurut
pendekatan ini, ketidakmampuan adaptasi terjadi karena individu tidak memahami
sistim “hadiah dan hukuman” yang berlaku di kultur yang baru, dimana sistim
hadiah dan hukuman ini bisa saja tergambar dalam perilaku verbal maupun nonverbal
dalam kultur tersebut (Anderson dalam Chapdelaine, 2004). Dalam hal ini, bisa
saja terjadi, hal yang di kultur asal dianggap sebagai hal yang dianggap baik,
sehingga mendapatkan hadiah, mungkin di kultur baru dianggap buruk, sehingga
mendapatkan hukuman. Misalnya saja: di Indonesia menanyakan “Mau kemana? Dari
mana? Sudah mandi atau belum?” pada teman dianggap sebagai perhatian dan
kepedulian. Bisa saja di negara yang lain dianggap terlalu mencampuri urusan
orang dan membuat orang tersinggung.
c) Pendekatan
Fenomenologis
Menurut
pendekatan ini, culture shock merupakan pengalaman transisional dari kondisi
kesadaran yang rendah akan diri dan kultur, ke kesadaran yang tinggi akan diri
dan kultur (Adler, 1975; Bennett, dalam Chaldelaine, 2004). Menurut pendekatan
ini, culture shock terjadi karena mereka tidak dapat lagi menggunakan
referensi-referensi/nilai-nilai kulturnya untuk memvalidasi aspek penting
kepribadiannya. Misalnya bila di kultur asalnya ia meyakini dirinya adalah anak
baik-baik karena tidak pernah minum-minuman di bar, tidak melakukan seks bebas
dengan lawan jenis,dll. Tetapi di lingkungan yang baru, ia tidak dapat
menggunakan standar “anak baik” sebagaimana yang digunakan di kultur asalnya.
Di tempat yang baru, kondisi ini justru membuatnya dicap sebagai “anak
ketinggalan jaman, kuno dan kolot”. Dalam proses inilah seringkali individu
mempertanyakan kembali keyakinan-keyakinan yang dulu pernah dimilikinya, bahkan
mempertanyakan kembali konsep dirinya yang sebelumnya diyakini selama ini. Hal
ini seringkali menimbulkan krisis tersendiri bagi individu
tersebut.
d) Pendekatan
sosiopsikologis
Pada
pendekatan ini, meliputi
d.1.
Penyesuaian psikologis/afektif : ketidaksamaan kultur antara kultur asal dan
kultur di tempat baru menimbulkan perasaan asing, perasaan kesepian, rasa
keterhilangan di tempat yang baru bagi dirinya.
d.2.
Penyesuaian sosial: Dalam hal ini, culture shock terjadi karena individu tidak
memiliki pemahaman budaya yang cukup untuk ia dapat berinteraksi dengan baik
dengan warga lingkungan baru. Individu juga memiliki identitas kultur yang
begitu besar sehingga menyulitkannya untuk beradaptasi dengan kultur yang
baru.
Contoh shock
culture
ketika
mahasiswa Indonesia yang mendapat beasiswa study di Paris, mereka akan sangat
merasa kurang nyaman melihat perilaku-perilaku mesra para lesbi dan gay yang
ditunjukan secara vulgar di sekitarnya. Perasaan kaget yang timbul terhadap
pasangan homogen tersebut di karenakan di Indonesia sendiri, komunitas marginal
lebih tertutup dan mendapat perlakuan diskriminatif oleh banyak pihak di
Indonesia. Sementara di Paris dan beberapa negara liberal, komunitas mereka
adalah independen dan bebas. Berciuman dan bermesraan di depan umum pun tidak
dianggap suatu perbuatan memalukan. Ini akan membuat mahasiswa dari Indonesia
merasakan shock culture (kekagetan budaya).
Selain itu
dari pola makan juga mahasiswa Indonesia bias merasakan shock culture
(kekagetan budaya), misalnya, di Indonesia setiap hari makan dengan nasi namun
ketika iya tinggal dan menempuh pendidikan di Paris, mahasiswa akan sulit
menyesuaikan dengan menu makan yang ada di Paris, butuh waktu yang cukup lama
untuk mahasiswa Indonesia beradaptasi dengan menu makan yang ada di
Paris.
http://akarkangkung.blogspot.com/2016/03/culture-shock-kejutankekagetan-budaya.html